Hijab: Lebih dari Sekedar Penutup, Sebuah Dakwah yang Hidup
Hijab: Lebih dari Sekadar Penutup, Sebuah Dakwah yang Hidup
Oleh: Mujdalifa (Anggota Bidang Kewirausahaan Periode 24/25)
Hijab atau jilbab bukanlah konsep baru dalam sejarah peradaban manusia. Bahkan sebelum Islam datang, praktik menutup diri sudah dikenal oleh berbagai budaya. Namun, Islam membawa perubahan fundamental dalam memuliakan perempuan — salah satunya lewat perintah berhijab. Dalam perspektif dakwah, hijab tidak hanya dipandang sebagai kewajiban berpakaian, melainkan sebagai simbol identitas keagamaan, bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta perlindungan terhadap martabat perempuan muslimah.
Secara bahasa, hijab berasal dari kata hajaban yang berarti menutupi atau mencegah. Dalam Al-Qur’an, perintah berhijab terdapat dalam QS. Al-Ahzab ayat 59, yang menyerukan agar perempuan muslim mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh, agar dikenali dan tidak diganggu. Para ulama memahami perintah ini sebagai bentuk penjagaan terhadap kesucian dan kehormatan perempuan dalam masyarakat.
Dakwah tentang hijab memuat pesan moral dan spiritual. Lebih dari penutup aurat, hijab adalah ajakan hidup yang bermartabat. Ia membentuk karakter, menciptakan identitas muslimah yang kuat, serta menjadi benteng dari kerusakan moral yang marak di zaman ini. Bahkan, dari sisi kebutuhan dasar manusia, hijab termasuk bagian dari sandang yang menenangkan batin dan memberikan rasa aman.
Menurut mayoritas ulama, hijab adalah kewajiban bagi perempuan Muslim untuk menutup aurat — yakni seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Perintah ini ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 59 dan QS. An-Nur ayat 31. Prinsip hijab syar’i mencakup pakaian yang longgar, tidak transparan, tidak menyerupai lawan jenis atau pakaian kaum non-Muslim, serta tidak dimaksudkan sebagai perhiasan yang menarik perhatian.
Dalam konteks dakwah, hijab bukan hanya pemenuhan syariat, tapi juga pesan visual. Seorang muslimah berhijab membawa pesan: “Aku Muslim, aku taat.” Penampilannya menyampaikan dakwah diam yang menyentuh hati. Ia menjadi teladan melalui penampilan dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Hijab menjadi kontrol diri yang mengingatkan pemakainya untuk menjaga adab dan kehormatan.
Yusuf al-Qaradhawi, ulama kontemporer, menekankan bahwa dakwah tentang hijab perlu dilakukan dengan bijak dan tidak memaksa. Beliau membedakan antara jilbab dan khimar yang wajib, dan cadar yang lebih bersifat adab atau pilihan, bukan kewajiban. Ia juga menolak cara-cara dakwah yang keras, seperti melabeli pemakai cadar sebagai ekstremis. Pendekatan moderat dan penuh hikmah adalah kunci agar pesan dakwah hijab diterima luas oleh masyarakat.
Hijab dalam dakwah berperan penting dalam:
• Melindungi dan menjaga kehormatan perempuan Muslim.
• Menjadi identitas pembeda yang menjadikan muslimah mudah dikenali dan terhindar dari gangguan.
• Menjadi sarana edukasi dakwah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan begitu, hijab bukan hanya simbol keimanan, tetapi juga pernyataan keberpihakan terhadap nilai-nilai Islam yang luhur.
Hijab dalam perspektif dakwah adalah perintah Ilahi sekaligus alat komunikasi yang penuh makna. Pendekatan dakwah yang digunakan sebaiknya mengedepankan hikmah, toleransi, dan pemahaman terhadap konteks zaman. Sebab, lebih dari sekadar selembar kain, hijab adalah cara seorang muslimah menunjukkan imannya — bukan dengan kata-kata, tapi dengan sikap dan keteladanan. Di sinilah hijab menjadi dakwah yang hidup, menginspirasi, dan mengajak.
Komentar